WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Jumat, 03 Januari 2014

Pencemaran Nama Baik : Masuk Wilayah Publik atau Privat ?

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR edisi Jumat 3 Januari 2014

Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, SH.,MH

Seperti penulis duga dari awal bahwa penanganan kasus pencemaran nama baik yang terkait dengan pemberitaan bukanlah perkara yang mudah. Dalam banyak tulisan beberapa pakar pidana berpendapat wilayah pencemaran nama baik sekarang telah menyempit. Artinya pencemaran nama baik sudah bukan lagi delik yang absolut, yang dengan serta merta segera bisa diambil tindakan terhadap terlapor atau orang yang diadukan.
Kita bisa mencermati dari telah dihapuskannya sifat absolut atas pelanggaran delik tersebut kepada seorang pejabat atau penguasa. Hal ini bisa disimak dari dibatalkannya pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,karena dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan HAM dan demokrasi ( lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :013-22/PUU-IV/2006 tertanggal 6 Desember 2006) . Sebab pada saat diberlakukan pasal tersebut setiap orang yang menyampaikan pendapat atau kritik yang berbeda dengan sikap pemerintah.

Kala itu seseorang  yang dituduh telah menghina seorang pejabat negara atau pejabat publik yang bertugas termasuk walikota bisa ditangkap atau ditahan. Dan sifat berlakunya pasal adalah absolut. Artinya penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden atau pejabat yang tengah menjalankan kekuasaannya bisa dituntut tanpa melalui pengaduan terlebih dahulu. Semua alat negara diwajibkan untuk mencari dan menuntut pelaku tindak pidana, karena jabatannya. Sehingga banyak tokoh kritis menghuni penjara seperti Jendral HR Darsono, Sri Bintang Pamungkas, Sahrir, Budiman Sujatmiko dan lain-lain bisa dipenjarakan tanpa harus ada pihak pelapor atau pengadu yang merasa dirugikan.
Jika kita mencermati perkembangan kasus  Pelaporan Walikota Surakarta atas diri Dewan Adat Keraton Surakarta, GRAy Koes Moertiyah (Gusti Moeng) dan KP Eddy Wirabhumi penyidik Kepolisian Resort Kota Surakarta seolah buntu. Mengingat hingga tulisan ini dibuat, terdapat  kesulitan untuk mengungkap kasus pemcemaran nama baik terhadap Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo (Rudy) dengan terlapor pimpinan Dewan Adat Keraton, GRAy Koes Moertiyah (Gusti Moeng) dan KP Eddy Wirabhumi.
Pasalnya, beberapa awak media yang sebelumnya menulis tentang kasus tersebut enggan untuk menjadi saksi.
Dari lima media yang memuat berita dugaan pencemaran nama baik tersebut yang sedianya akan dilakukan pemeriksaan sebagai saksi, baru satu media yang memberikan jawaban, itupun tidak menggembirakan karena menolak memberikan keterangan.
Kasat Reskrim Polresta Surakarta Kompol Rudi Hartono menjelaskan pemeriksaan terhadap awak media penting, mengingat mereka dianggap mengetahui persoalan tersebut. Selain itu, pelapor yakni Walikota  FX Hadi Rudyatmo Rudy melaporkan pencemaran nama baik dirinya juga berdasarkan pada pemberitaan media. Sehingga penyidik berharap kepada rekan-rekan media, utamanya yang menulis berita kasus tersebut bersedia memberikan keterangan.
Namun menurut pendapat penulis hal itu tampaknya sulit terlaksana. Mengingat awak media dilindungi oleh Undang Undang Pers No 40 tahun 1999 pasal 4 ayat 4 di penjelasan tentang hak tolak. Dengan maksud wartawan agar bisa melindungi sumber informasi. Secara jelas tidak mungkin seorang wartawan menyediakan diri untuk setiap saat diperiksa atas berita yang telah ditulisnya. Jika itu dilakukan sama artinya wartawan telah mengabaikan imunitas dirinya yang dijamin oleh undang undang.
Kredibilitas Mediator
Sementara, terkait dengan perkembangan penyelidikan, penyidik sejauh ini sudah memeriksa tujuh saksi, tiga di antaranya dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).  Dari hasil pemeriksaan terhadap para saksi di atas didapat temuan sementara,  bahwa surat mediasi Kemendagri tersebut asli bukan rekayasa. Lepas dari hasil temuan tersebut menurut hemat penulis sebaiknya kasus ini dikembalikan pada  tujuan hukum seperti yang diungkap Gustav Radbruch yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Sudah barang tentu masing-masing pihak tidak mengedepankan paham positifistik, yang dicirikan dengan penyelesaian masalah melalui mekanisme hukum positif. Jika perkara ini diteruskan sementara penyidik tidak berhasil menemukan saksi atau tidak ada orang yang bersedia menjadi saksi. Tentulah kedibilitas mediator dalam hal ini Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo tengah dipertaruhkan.
Pasalnya, Rudy yang berposisi sebagai penengah sekarang justru berhadapan secara diametrikal dengan orang yang seharusnya dia damaikan. Memang sesuai paham hukum modern seharusnya kasus keraton ini mengacu pada  Peraturan Mahkamah Agung RI No1 tahun 2008 tentang mediasi. Justru di fase inilah yang harus dijalankan seorang mediator, artinya apapun usaha yang dilakukan harus mengarahkan kedua belah pihak yang bertikai untuk berdamai.
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis langkah paling baik kemelut Keraton Surakarta ini diselesaikan lewat jalur mediasi. Karen itulah yang dikehendaki faham hukum modern. Artinya sesuai hakekat hukum pidana, bahwa polisi, kejaksaan dan pengadilan adalah upaya akhir atau ultimum remidium sesudah proses mediasi, negosiasi gagal dijalankan. Karena pidana hanyalah bagian dari sebuah sistem hukum, tujuan hukum yang baik tetaplah tercapainya keadilan dan itu upaya sungguh-sungguh seorang mediator. Artinya seorang mediator dianggap berhasil jika ia telah mendamaiakan para pihak, bukan ia yang melah bertikai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar