WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 28 Oktober 2013

Seragam Tak Bikin Malu Koruptor

Dimuat di Harian SOLOPOS edisi Sabtu, 26 Oktober 2013

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) disibukkan pemeriksaan sejumlah tokoh penting. Para tokoh yang berstatus tersangka itu disiapi seragam berwarna oranye. Langkah-langkah teknis itu memang diambil sebagai pilihan KPK untuk menjawab tudingan bahwa lembaga itu mandul dalam menyidik sejumlah kasus korupsi skala besar seperti dana talangan Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Langkah KPK ini sesungguhnya bukan hal atau ide baru. Pada masa Ketua KPK Antasari Azhar ide ini pernah akan dicoba, namun urung dilakukan karena banyak yang menentang. Baju atau rompi warna oranye awalnya dikenakan tersangka saat diperiksa atau di dalam tahanan. Sekarang juga dipakaikan saat sidang.
Memakaikan seragam terhadap tersangka koruptor atau koruptor tidak semudah orang mengenakan seragam daerah layaknya upacara bendera atau karnaval hari jadi sebuah kota. Asas hukum pidana yang dianut secara universal menyatakan suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat lain.
Artinya dalam status tersangka itu belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan terbuka membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman. Wajar bila pada awalnya ada sebagian masyarakat yang menolak pemakaian seragam khusus tahanan KPK karena soal seragam tahanan bukan monopoli kalangan penegak hukum.
Masyarakat yang sangat pintar hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik atau public opinion, sebab ia berada pada wilayah tersendiri. Opini publik bisa disebut hukum yang hidup karena punya kekuatan memengaruhi pola pikir institusi penegak hukum. Hal itu sejalan dengan konsensus Friedrich Auguts von Hayek tentang masyarakat bebas sebagai sebuah catalaxy, memiliki penilaian tersendiri tentang hukum.
Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa ditepis oleh komunitas hukum seperti KPK sekalipun. Masyarakat punya hak menilai kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Ini sama seperti penilaian kalangan awam soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa belum. Dalam hukum formal dikenal asas presumption of innocent yang juga diadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita sebagai asas praduga tidak bersalah.
Pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan sebagainya. Warga masyarakat mana pun boleh mendukung ide itu tak terkecuali Indonesia CorruptionWatch (ICW). Jauh-jauh hari ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam untuk tahanan KPK.
Namun, yang mengkritik tentu saja boleh, dan pengkritik itu tidak bisa diartikan pro koruptor. Persoalan mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya bukan pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka atau terdakwa. Persoalan mendasar pemberantasan korupsi di Indonesia pada sikap dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan penyidik KPK.
Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya merupakan produk dari seleksi di masa kepolisian dan kejaksaan yang korup. Alhasil banyak penanganan kasus korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih para penyidik KPK.
Kondisi ini semakin buruk manakala eksponen KPK yang kebanyakan dari unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan gemar beradu opini dan mencari dukungan lewat media massa ketimbang berupaya mengembalikan kerugian negara dengan membuat terobosan hukum.
Terobosan hukum itu misalnya KPK mengumumkan apa yang telah disita dari Miranda Goeltom, Nazaruddin, Nunun Nurbaety, dan lainnya. Kita memang tidak bisa menafikan keberhasilan KPK mengungkap kekayaan Irjen Pol. Joko Susilo yang nilai ratusan miliar rupiah itu.
Pada bagian lain tumpang tindih perekrutan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilakukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berakibat rendahnya kualitas pemidanaan terdakwa kasus korups. Hal ini bisa diukur dengan banyaknya koruptor yang bebas. Ini lebih diperparah lagi dengan banyaknya hakim nonkarier Pengadilan Tipikor yang justru tersandung kasus hukum (suap).

Pencepatan
KPK masih terkesan pandang bulu dan cari aman. Dalam kasus Bunda Putri yang disebut banyak pihak, KPK terkesan tidak peduli. Dalam kasus tutup buku BLBI, KPK hanya berani menyentuh Urip Tri Gunawan, sementara Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan ikut membantu skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin sama sekali tidak dijadikan tersangka hingga sekarang.
Dalam rangka pencepatan pemberantasan korupsi, tugas KPK yang utama selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya adalah mengembalikan harta hasil korupsi ke negara. Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan jika dimaksimalkan KPK sebenarnya cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan koleganya. Pasal tersebut memungkinkan KPK mengumumkan harta negara yang dikorupsi.
Harta itu tidak saja yang dikuasai pelaku, tetapi juga yang dikuasai menantu, anak, istri, kolega bisnis, dan mungkin juga istri simpanan serta partai yang menaunginya. Dengan demikian, menurut hemat saya, cara-cara sensasional yang ditempuh KPK seperti mengumumkan nama-nama perempuan yang menerima ”bingkisan” dari Ahmad Fathonah kurang tepat.
Mengajak simpati untuk saweran dana terkait rencana pembangunan gedung baru baru KPK, tampil di beberapa acara talk show, terkesan sekadar alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebritas hukum. KPK adalah lembaga superbody atau perangkat negara yang dibentuk guna mencegah korupsi, menangkap koruptor, dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara.
Saya yakin masyarakat akan mendukung jika KPK menampilkan langkah ”berani”, yakni lewat media massa, baik cetak mapun elektronik, mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali, saat berstatus tersangka. Dengan cara ini keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara yang didapat dari hasil korupsi.
Di disi lain, masyarakat dan terutama notaris akan berpikir berkali-kali untuk mencatat pemindahan hak. Pada bagian lain  ini juga semakin memperjelas bahwa musuh KPK cuma satu, yaitu koruptor, bukan lembaga lain. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang syarat khusus hakim Mahkamah Konstitusi, tentu juga mampu membuat perpu untuk membuat malu koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar