WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 08 Desember 2011

KPK dan Citra Pengadilan

Harian Joglosemar edisi Rabu, 7 Desember 2011

Jago Pemerintah Terjungkal begitu judul head line Joglo Semar ( Sabtu,3 /12/2011 ) pasca terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua lembaga superbody. Di tengah galaunya kepercayaan publik pada KPK karena gagal membongkar Century, menangkap Nunun dan memenjarakan Miranda Goeltom . Masyarakat sangsi apakah lembaga superbody ini mampu membuat terobosan atau percepatan pemberantasan korupsi. Pasalnya putusan di beberapa pengadilan tipikor sangat tidak mendukung pemberantasan korupsi, betapa tidak? Banyak koruptor lolos di tangan hakim tipikor. Sehingga muncul sinyalemen bahwa peradilan tipikor pun tidak luput dari praktek mafia peradilan.
Diakui atau tidak praktek mafia peradilan di Indonesia adalah sebagai biang kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan menyimpang ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Bahkan presiden pun ikut-ikutan latah membentuk Satgas Mafia Hukum. Banyak nama yang kemudinan muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan dan di daerah pun tak kurang banyaknya. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang berbeda. Kelompok pegiat anti korupsi pernah mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai tingkah laku yang tidak terpuji. Jadi criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International dan Gallup International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2006. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga – lembaga yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 di mana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2008). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin tinggi pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Peradilan sebagai sebuah mekanisme tak lain sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara demokratis. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi alat penindas. Mereka yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri. Karena benar adanya hak tanpa mekanisme untuk menuntut apabila hak tersebut dilanggar sebenarnya sama dengan tiadanya hak
Sebuah jalan keluar akan berdaya guna apabila sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu pertanyaan penting yang harus diuji adalah untuk siapakah pemberantasan korupsi, termasuk korupsi peradilan.? Tentunya representasi KPK yang mewakili negara dalam upayanya memberantas korupsi. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri yang dicerminkan kegagalan peradilan tipikor dan kegagalan KPK membongkar kasus Mega korupsi. Agar tingkat kepercayaan itu pulih dan KPK kembali dalam posisinya sebagai lembaga superbody. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memulihkan reputasi itu.
Pertama bisa dilakukan melalui kepentingan akan peradilan yang bersih berangkat dari pemahaman, kebutuhan dan kepentingan bersama sehingga menjadi pengikat dalam setiap aktifititas para komosioner KPK yang baru .
Kedua, KPK memiliki kewenangan merekrut penegak hukum(penyidik ) tersendiri, hal ini akan berakibat langkah pemberantasan korupsi lebih mudah karena akses langsung terhadap kasus (ditangani sendiri). Berbeda apabila pemberantasan dilakukan orang di luar komunitas( peradilan tipikor di daerah) yang menginduk ke Mahkamah Agung RI seperti selama ini.
Ketiga, KPK memiliki agenda penuntasan kasus-kasus mega korupsi sehingga tidak terjebak pada lingkaran birokrasi hukum yang cenderung profiling( mengincar tokoh terkenal) meski nilai korupsi rendah. Seperti Bupati,Walikota dan Gubernur dan beberapa anggota DPR/ DPRD.
Dengan cara ini pemberantasan korupsi peradilan akan berlangsung secara berkelanjutan karena didasarkan atas kebutuhan komunitas atau masyarakat bukan lagi domain Mahkamah Agung saja. Namun demikian jika pimpinan KPK yang baru meski dijabat orang muda namun tidak memiliki orientasi atau visi menegakkan citra peradilan. Alhasil pemberantasan mafia hukum yang berujung pada terbentuknya kepercayaan publik pada lembaga peradilan seperti menggantang asap, kalau tidak boleh dibilang sia-sia.

Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
Advokat Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar