WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 18 November 2010

Mafia Hukum dan Perilaku Polisi

Dimuat di Harian Seputar Indonesia, Jumat 19 November 2010

Oleh : Muhammad Taufiq

Polisi ada
lah superpower,artinya polisi bisa melakukan apa saja yang bagi orang awan tidak bisa. Mungkin banyak yang tidak setuju dan mengernyitkan dahi membaca awal tulisan ini.

Terlebih jika dihubungkan dengan kasus pelesiran Gayus Tambunan. Namun jika mencermati Undang- Undang Kepolisian, baik yang lama (UU No 13 Tahun 1961) atau lebih-lebih yang baru (UU No 2 Tahun 2002),orang akan memercayainya. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara penegak hukum yang bertugas utama memelihara keamanan dalam negeri.

Secara terperinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Polri, yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi dalam sistem hukum nasional kita. Korps polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa.

Bukan karena dibikin istimewa,melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakan hukum tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo (1988), kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang “tidur”, maka polisi adalah hukum yang hidup.Peraturan apa pun sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara,bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya.

Tapi, baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan, siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, dan sebagainya.Jadi, dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini, polisi sering kali membuat standar ganda dalam penanganan perkara.

Oleh karena itu, bisa dipahami mengapa polisi dalam satu perkara menahan dan mempersulit tersangka, sementara dalam perkara yang lain tersangka bisa begitu bebas berkeliaran. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dengan kasus Gayus Tambunan. Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk.

Batasan dalam aturan birokrasi kadang tidak berlaku di sini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multitafsir. Dalam keseharian, polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum seperti dalam contoh menghidupkan hukum di atas.Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi, memperoleh bentuknya yang nyata.

Artinya, apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan meski sering kali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan polisi.Transformasi tersebut dilakukan polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan.Ini adalah sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol.

Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga sering kali muncul improvisasi atau “kreativitas“ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara. Penulis asing Jerome H Skolnick (1988) memakai istilah justice without trial untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut.Dengan ungkapan doing justice tersebut, ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari, polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja, melainkan pada hakikatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan.

Dalam kasus yang dihadapi polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur, kita kerap menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum menentang,terutama advokat, mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor.

Sebab meski KUHAP tidak mengatur, jika seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor sering kali ia ditahan. Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada pos terdepan dan berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan polisi akan memengaruhi keseluruhan kerja sistem.

Artinya,ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana,nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan. Begitu pula sebaliknya, jika polisi tidak bekerja keras,tidak akan ada perkara ke pengadilan. Karena itu,untuk memperbaiki kinerja penegak hukum, yang paling pertama sekali dibenahi ialah polisinya.

Tingkat akuntabilitas polisi dalam setiap pemeriksaan harus dikedepankan.Lembaga penahanan yang selama ini menjadi senjata polisi haruslah direvisi. Harus ada lembaga yang mengawasi kewenangan penahanan yang dimiliki polisi. Kemudian yang terpenting, rumah tahanan (rutan) polisi yang selama ini menjadi surga bagi pesakitan haruslah dihapuskan. Rutan Brimob yang boleh menampung tahanan di luar anggota polisi adalah buah kompromi pada masa Hamid Awaluddin menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM.

Ketika itu, banyak jenderal polisi yang ditangkap KPK seperti Komjen Pol Suyitno Landung, Jenderal Rusdihardjo. Agar tidak ada balas dendam jika mereka ditahan di rutan umum, muncullah ide bahwa para petinggi polisi bisa dikecualikan ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Karena eksklusivitas ini,akhirnya hampir semua koruptor papan atas yang bukan polisi minta ditahan di situ (Urip Tri Gunawan, Irawady Yoenoes,Aulia Pohan). Mereka menghuni “hotel prodeo” yang aman dan nyaman serta tak beda jauh dengan yang ditempati Gayus Tambunan.(*)

Muhammad Taufiq, SH, MH
Ketua Peradi Surakarta,
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar