WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 02 Maret 2010

EKSISTENSI DAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM PENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM**

Oleh : Muhammad Taufiq*

Tahun 2006 lalu sejumlah advokat beramai-ramai mendatangi Kejaksaan Agung dan DPR- RI, kala itu mereka bukan bersidang atau mendeklarasikan sesuatu yang baru. Kedatangan mereka ke dua lembaga tinggi negara tersebut sebagai bentuk solidaritas dan suara penolakan atas penahanan yang menimpa Gubernur Sulawesi Tenggara,Ali Mazi,SH. Kata para advokat itu Ali Mazi yang sebelum Gubernur Sulawesi Tengah adalah seorang advokat karenanya layak dibela. Sebagaimana diketahui Ali Mazi ditahan karena semasa berprofesi advokat dan menjadii kuasa hukum PT.Indo Bulid & co, perusahaan yang mengelola Hotel Hilton pernah ditahan karena dianggap bersekongkol atau terlibat dalam manipulasi data tanah.

Sesungguhnya penahanan terhadap advokat juga pernah dialami oleh Elza Syarif, Popon, Harini Indra Wiyoso (mantan hakim tinggi DIY) yang menjadi makelar kasus Probo Sutedjo, Peter Talaway (di Surabaya) Ign. Edy Cahyono( di Solo), Heru Subandono N, SH., MH di tahan karena menggunakan gelar Doktor Palsu (Ketua KAI Solo) dan sekarang sedang di adili dalam kasus APBD Kota Surakarta. Alasan penahanannya sangat beragam, namun kebanyakan karena dianggap bersekongkol atau melindungi kliennya yang melakukan kejahatan. Rata-rata mereka masih tetap praktek sampai sekarang. Kecuali Ign. Edy Cahyono yang terpuruk, sehingga gagal eksis. Yang menjadi pertanyaan, sesungguhnya kapan seorang advokat dianggap memiliki hak imunitas( kekebalan )?. Jika ditanyakan hal tersebut kepada advokat jawabannya sudah pasti hampir sama akan mengatakan bahwa imunitas tersebut diperoleh saat advokat bekerja atau menjalankan tugasnya. Meski demikian jawaban tersebut akan disambung denga pertanyaan lain. Menjalankan tugas seperti apa? Apakah selama bersidang sebagaimana halnya anggota DPRD atau selama bekerja sebagai advokat ,berarti termasuk di luar persidangan. Kalau mengacu pada pengertian original intend / bunyi asli UU No.18/2003 tentang Advokat pasal 16, imunitas itu hanya berlaku pada saat persidangan. Karena di dalam penjelasannya tegas dikatakan bahwa pengertian persidangan itu adalah pada tingkatan,pengadilan negeri,pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sesungguhnya jika mengacu pada UU tersebut imunitas yang diberikan tidaklah cukup. Mengingat tugas dan tanggung jawab advokat bukan hanya pada saat persidangan. Melainkan 24 jam selama ia bekerja membela atau mewakili kepentingan kliennya. Barangkali pada saat UU itu dibuat tidak pernah terpikir bahwa profesi advokat juga sama dan sederajat dengan polisi, hakim dan jaksa, maklum dari catatan yang ada. Di mana mereka punya imunitas dalam pekerjaan sehingga tidak was-was atau khawatir dianggap melanggar hukum saat bekerja. Asas legalitas yang diadopsi KUHP kita dalam pasal 1 ayat 1 . Tegas menyebutkan bahwa tidak bisa dipidana seseorang jika tidak ada aturan yang melarang sebelumnya atas perbuatan hukum seseorang. Artinya, perbuatan pidana seseorang hanya bisa dihukum jika perbuatan yang disangkakan itu sudah diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Membandingkan imunitas advokat dalam ketentuan hukum internasional membuat kita iri atau merasa sedih. Setidaknya ada tiga perbandingan di sini. Pertama, Basic Principles on the role of lawyer. Kedua, aturan yang dibuat International Bar Association Standart for the Independence ot the Legal Profession. Dan ketiga, The world Conference of the Independence of justice. Di ketiga ketentuan tersebut advokat benar-benar mendapat perlindungan penuh termasuk dari kemungkinan ancaman pembunuhan,tekanan ekonomi seperti tidak dibayarnya honorarium dan pemeriksaan harta pribadi advokat.

Bagaimana dalam praktek sehari-hari di Indonesia mengenai imunitas ini. Secara prinsip yang harus dipahami oleh para advokat di Indonesia adalah bahwa apapun perbuatan seorang advokat dalam membela kepentingan klient atau menjalankan profesinya harus didasarkan pada iktikat baik. Artinya imunitas itu berlaku sepanjang ia menjalankan pekerjaan secara benar dan terhormat. Misalnya tidak menyogok penegak hukum, tidak merekayasa sebuah alat bukti/ memalsukan alat bukti, tidak memfitnah lawan perkara, tidak membuat putusan palsu, secara garis besar tidak melakukan persekongkolan jahat untuk memenangkan sebuah perkara. Seorang advokat tentu saja tidak bisa diidentikkan dengan perbuatan hukum klien atau orang yang dibelanya, terkecuali ia menjadi bagian dari kejahatan itu misalnya advokat ikut menyogok dan mengantar uang suap atau membantu untuk melarikan diri.

Bagaimana jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu terkait dengan pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika sebelumnya telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah dan tidaknya pekerjaan seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu klientnya sehingga klienntya kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia mesti meminta organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan seorang advokat tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan tersebut termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya advokat diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah pasti menang. Jika advokat yang bersangkutan sudah diperiksa dewan etik atau dewan kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka hukumannya dua. Oleh organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan memperoleh sanksi pidana dari penegak hukum. Namun jika tidak ditemukan bukti dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia tidak bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu, menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana biasa. Tetapi advokat yang menjadi penasihat hukum koruptor atau teroris kemudian laptopnya ikut disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi advokat. Karena perbuatan klientnya bukanlah tanggungjawab advokat.

**Disampaikan dalam Diskusi pada acara Pembukaan Rakercab PERADI Cabang Kediri, Hotel Insumo,Sabtu 30 Agustus 2008. * Muhammad Taufiq, SH MH Ketua Peradi Cabang Surakarta, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar